Detikinvestigasi.com.Jakarta.
Politisi Partai Solidaritas Indonesia [PSI] Ade Armando, melontarkan pernyataan yang menuai reaksi publik,Pernyataan Ade yang kontroversial tersebut bermula ketika ia mengkritik gerakan mahasiswa di Yogyakarta yang menggelar aksi protes terhadap politik dinasti yang dijalankan Presiden Joko Widodo.
Aksi protes tersebut, menurut Ade, sangat ironi, karena politik dinasti sebenarnya justru berada di Yogyakarta.
Kritikan tersebut disampaikan Ade Armando lewat video yang diunggah melalui akun X-nya, @adearmando61, pada Sabtu 2 Desember 2023.Video tersebut menurut pantauan strateginews.id telah dihapus. Namun video pernyataan Ade masih beredar luas di media sosial, salah satunya diunnggah oleh akun Tiktok @Jakartabergetar.
“Terus terang saya meragukan keseriusan para mahasiswa memperjuangkan demokrasi, misalnya saja saya baca bahwa ada gerakan aliansi mahasiswa di Jogja melawan politik dinasti, di video pendeknya tampil Ketua BEM UI dan Ketua BEM UGM, mereka gunakan baju kaos bertuliskan republik rasa kerajaan,” kata Ade dalam video itu.
Ade juga menilai aksi protes terhadap dinasti politik Jokowi tersebut sangat ironi. Dia mengatakan seharusnya mahasiswa melawan sistem dinasti di Yogyakarta yang gubernurnya menjabat tidak melalui pemilihan umum tapi karena faktor keturunan.
“Ini ironi sekali karena mereka justru sedang berada di sebuah wilayah yang jelas-jelas menjalankan politik dinasti, dan mereka diam saja. Anak-anak BEM ini harus tahu dong kalau mau melawan politik dinasti, ya politik dinasti sesungguhnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, gubernurnya tidak dipilih melalui pemilu, gubernurnya adalah Sultan Hamengku Buwono ke-X yang menjadi gubernur karena garis keturunan,” jelasnya.
Menanggapi pernyataan Ade Armando yang tanpa dasar, Praktisi Hukum Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn mengatakan, pernyataan Ade Armando sangat melukai hati masyarakat Yogyakarta.
Ucapan Ade yang tanpa dasar, kata Suriyanto, mencerminkan ketidak tahuan Ade Armando mengenai sejarah keistimewaan Yogyakarta.
Sebagai seorang akademisi, harusnya Ade belajar sejarah Keistimewaan Yogyakarta sebelum melontarkan pernyataan yang berujung kegaduhan.
“ Keistimewaan DIY ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sah, secara konstitusi. Merujuk pada sejarah, konstitusi peralihan itu ada (Pasal) 18 b yang menyangkut masalah pengertian Indonesia itu menghargai asal usul tradisi DIY, sehingga bunyi UU Keistimewaan itu juga mengamanatkan Gubernur Sultan dan Wakil Gubernur Pakualam,” Kata Suriyanto.
“ Pasal 18B ayat 1 UUD 1945 tertuang dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi ‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang,” tuturnya.
Suriyanto mengungkapkan, dalam bab VI pasal 18 UU No 13, disebutkan bahwa gubernur atau kepala daerah Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono. Sementara, wakil gubernur Yogyakarta adalah Adipati Paku Alam. Menilik dari sejarahnya, keberadaannya DIY dimulai dari sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti 1755.
Kemudian muncul sistem pemerintahan yang teratur dan kemudian berkembang, hingga akhirnya sebagai DIY yang merupakan suatu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“ DIY ini sudah ada, sejak Indonesia belum merdeka. Jadi tidak tepat Kasultanan Yogyakarta disebut sebagai dinasti politik. Sebab, Kasultanan Yogyakarta atas kehendak rakyat di seluruh wilayah kesultanan. Semua Sultan yang pernah memimpin wilayah kesultanan Yogyakarta selalu melindungi dan mensejahterakan semua warga di sana. Rakyat di sana sangat mencintai Sultan,” terang Suriyanto.
“ Lain halnya dengan dinasti politik, di mana pemimpinya produk rekayasa politik kekuasaan. Relasi kekuasaan dinasti politik merupakan tindakan memaksakan estafet kekuasaan agar selalu berada di sekitar keluarga inti dengan merekayasa konstitusi, UU, dan dengan melakukan penyandraan politik kepada kekuatan politik, termasuk ke partai politik, agar semua kekuatan politik senantiasa mendukung penuh supaya kekuasaan ada di sekitar keluarga inti. Kepemiluan dijadikan sebagai topeng legitimasi kekuasaan agar tampak seperti berdemokrasi,” pungkasnya.
[jgd/red]